Perkembangan Profesi Akuntan di Indonesia
Perkembangan profesi akuntan di Indonesia menurut Olson dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:
1. Periode Kolonial (Sebelum Kemerdekaan)
Selama masa penjajahan kolonial Belanda
yang menjadi anggota profesi akuntan adalah akuntan-akuntan Belanda dan
beberapa akuntan Indonesia. Pada waktu itu pendidikan yang ada bagi
rakyat pribumi adalah pendidikan tata buku diberikan secara formal pada
sekolah menengah atas sedangkan secara non formal pendidikan akuntansi
diberikan pada kursus tata buku untuk memperoleh ijazah.
2. Periode Sesudah Kemerdekaan
Pembahasan mengenai perkembangan akuntan sesudah kemerdekaan di bagi ke dalam enam periode yaitu:
a. Periode I sebelum tahun 1954 – 1966 (Orde Lama)
Pada periode I telah ada jasa pekerjaan
akuntan yang bermanfaat bagi masyarakat bisnis. Hal ini disebabkan oleh
hubungan ekonomi yang makin sulit, meruncingnya persaingan, dan naiknya
pajak-pajak para pengusaha sehingga makin sangat dirasakan kebutuhan
akan penerangan serta nasehat para ahli untuk mencapai perbaikan dalam
sistem administrasi perusahaan. Sudah tentu mereka hendak menggunakan
jasa orang-orang yang ahli dalam bidang akuntansi. Kebutuhan akan
bantuan akuntan yang makin besar itu menjadi alasan bagi khalayak umum
yang tidak berpengetahuan dan berpengalaman dalam lapangan akuntansi
untuk bekerja sebagai akuntan.
Padahal, pengetahuan yang dimiliki
akuntan harus sederajat dengan syarat yang ditetapkan oleh pemerintah
dan juga mereka harus mengikuti pelajaran pada perguruan tinggi negeri
dengan hasil baik. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan peraturan
dengan undang-undang untuk melindungi ijazah akuntan agar pengusaha dan
badan yang lain tidak tertipu oleh pemakaian gelar “akuntan” yang tidak
sah.
Setelah adanya Undang-Undang No. 34 tahun
1954 tentang pemakaian gelar akuntan, ternyata perkembangan profesi
akuntan dan auditor di Indonesia berjalan lamban karena perekonomian
Indonesia pada saat itu kurang menguntungkan namun perkembangan ekonomi
mulai pesat pada saat dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan
milik Belanda. Mengingat terbatasnya tenaga akuntan dan ajun akuntan
yang menjadi auditor pada waktu itu, Direktorat Akuntan Negara meminta
bantuan kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas nama Direktorat
Akuntan Negara.
b. Periode II tahun 1966 – 1973 (Orde Baru)
Perluasan pasar profesi akuntan publik
semakin bertambah yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Undang-undang
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMND)
tahun 1967/1968. Meskipun pada waktu itu para pemodal “membawa” akuntan
publik sendiri dari luar negeri kebutuhan terhadap jasa akuntan publik
dalam negeri tetap ada.
Profesi akuntan publik mengalami
perkembangan yang berarti sejak awal tahun 70-an dengan adanya perluasan
kredit-kredit perbankan kepada perusahaan. Bank-bank ini mewajibkan
nasabah yang akan menerima kredit dalam jumlah tertentu untuk
menyerahkan secara periodik laporan keuangan yang telah diperiksa
akuntan publik. Pada umumnya, perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia
baru memerlukan jasa akuntan publik jika kreditur mewajibkan mereka
menyerahkan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik.
c. Periode III tahun 1973 – 1979 (Orde Baru)
M. Sutojo pada Konvensi Nasional
Akuntansi I di Surabaya Desember 1989 menyampaikan hasil penelitiannya
mengenai: Pengembangan Pengawasan Profesi Akuntan Publik di Indonesia,
bahwa profesi akuntan publik ditandai dengan satu kemajuan besar yang
dicapai Ikatan Akuntan Indonesia dengan diterbitkannya buku Prinsip
Akuntansi Indonesia (PAI) dan Norma Pemeriksaan Akuntan (NPA) dalam
kongres Ikatan Akuntan Indonesia di Jakarta tanggal 30 November – 2
Desember 1973. Dengan adanya prinsip dan norma ini, profesi akuntan
publik telah maju selangkah lagi karena memiliki standar kerja dalam
menganalisa laporan keuangan badan-badan usaha di Indonesia. Dalam
kongres tersebut disahkan pula Kode Etik Akuntan Indonesia sehingga
lengkaplah profesi akuntan publik memiliki perangkatnya sebagai suatu
profesi. Dengan kelengkapan perangkat ini, pemerintah berharap profesi
akuntan publik akan menjadi lembaga penunjang yang handal dan dapat
dipercaya bagi pasar modal dan pasar uang di Indonesia.
Pada akhir tahun 1976 Presiden Republik
Indonesia dalam surat keputusannya nomor 52/1976, menetapkan pasar modal
yang pertama kali sejak memasuki masa Orde Baru. Dengan adanya pasar
modal di Indonesia, kebutuhan akan profesi akuntan publik meningkat
pesat. Keputusan ini jika dilihat dari segi ekonomi memang ditujukan
untuk pengumpulan modal dari masyarakat, tetapi tindakan ini juga
menunjukkan perhatian pemerintah yang begitu besar terhadap profesi
akuntan publik.
Menurut Katjep dalam “The Perception of
Accountant and Accounting Profession in Indonesia” yang dipertahankan
tahun 1982 di Texas, A&M University menyatakan bahwa profesi akuntan
publik dibutuhkan untuk mengaudit dan memberikan pendapat tanpa catatan
(unqualified opinion) pada laporan keuangan yang go public atau
memperdagangkan sahamnya di pasar modal.
Untuk lebih mengefektifkan pengawasan
terhadap akuntan publik, pada tanggal 1 Mei 1978 dibentuk Seksi Akuntan
Publik (IAI-SAP) yang bernaung di bawah IAI. Sampai sekarang seksi yang
ada di IAI, selain seksi akuntan publik, adalah seksi akuntan manajemen
dan seksi akuntan pendidik.
Sophar Lumban Toruan pada tahun 1989
mengatakan bahwa pertambahan jumlah akuntan yang berpraktek terus
meningkat sehingga Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan dengan
IAI membuat pernyataan bersama yang mengatur hal-hal berikut:
1) Kesepakatan untuk pemakaian PAI dan NPA sebagai suatu landasan objektif yang diterima oleh semua pihak.
2) Kepada wajib pajak badan dianjurkan
agar laporan keuangan diperiksa terlebih dahulu oleh akuntan publik
sebelum diserahkan kepada Kantor Inspeksi Pajak (sekaran Kantor
Pelayanan Pajak). Laporan tersebut akan dipergunakan sebagai dasar
penetapan pajak.
3) Kalau terjadi penyimpangan etika
profesi (professional conduct) oleh seorang akuntan publik, akan
dilaporkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada IAI untuk diselidiki yang
berguna dalam memutuskan pengenaan sanksi.
Kesepakatan ini kemudian dikuatkan oleh
Instruksi Presiden No. 6 tahun 1979 dan Keputusan Menteri Keuangan No.
108/1979 tanggal 27 Maret 1979 yang menggariskan bahwa laporan keuangan
harus didasarkan pada pemeriksaan akuntan publik dan mengikuti PAI.
Maksud instruksi dan surat keputusan tersebut adalah untuk merangsang
wajib pajak menggunakan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh
akuntan publik, dengan memberikan keringanan pembayaran pajak perseroan
dan memperoleh pelayanan yang lebih baik di bidang perpajakan. Keputusan
ini dikenal dengan nama 27 Maret 1979. Ini merupakan keputusan yang
penting dalam sejarah perkembangan profesi akuntan publik dan sekaligus
sebagai batu ujian bagi akuntan publik dan masyarakat pemakainya.
d. Periode IV tahun 1979 – 1983 (Orde Baru)
Periode ini merupakan periode suram bagi
profesi akuntan publik dalam pelaksanaan paket 27 Maret. Tiga tahun
setelah kemudahan diberikan pemerintah masih ada akuntan publik tidak
memanfaatkan maksud baik pemerintah tersebut. Beberapa akuntan publik
melakukan malpraktik yang sangat merugikan penerimaan pajak yaitu dengan
cara bekerjasama dengan pihak manajemen perusahaan melakukan
penggelapan pajak. Ada pula akuntan publik yang tidak memeriksa kembali
laporan keuangan yang diserahkan oleh perusahaan atau opini akuntan
tidak disertakan dalam laporan keuangan yang diserahkan ke kantor
inspeksi pajak.
e. Periode V tahun 1983 – 1989 (Orde Baru)
Periode ini dapat dilihat sebagai periode
yang berisi upaya konsolidasi profesi akuntan termasuk akuntan publik.
PAI 1973 disempurnakan dalam tahun 1985, disusul dengan penyempurnaan
NPA pada tahun 1985, dan penyempurnaan kode etik dalam kongres ke V
tahun 1986.
Setelah melewati masa-masa suram,
pemerintah perlu memberikan perlindungan terhadap masyarakat pemakai
jasa akuntan publik dan untuk mendukung pertumbuhan profesi tersebut.
Pada tahun 1986 pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No.
763/KMK.001/1986 tentang Akuntan Publik. Keputusan ini mengatur bidang
pekerjaan akuntan publik, prosedur dan persyaratan untuk memperoleh izin
praktik akuntan publik dan pendirian kantor akuntan publik beserta
sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan kepada kauntan publik yang melanggar
persyaratan praktik akuntan publik.
Dengan keputusan Menteri Keuangan
tersebut dibuktikan pula sekali lagi komitmen pemerintah yang konsisten
kepada pengembangan profesi akuntan publik yaitu dengan mendengar
pendapat Ikatan profesi pada kongres ke VI IAI antara lain mengenai:
pengalaman kerja yang perlu dimiliki sebelum praktik; keharusan akuntan
publik fultimer (kecuali mengajar); izin berlaku tanpa batas waktu;
kewajiban pelaporan berkala (tahunan) mengenai kegiatan praktik kepada
pemberi izin; pembukaan cabang harus memenuhi syarat tertentu; izin
diberikan kepada individu bukan kepada kantor; pencabutan izin perlu
mendengar pendapat dewan kehormatan IAI; pemohon harus anggota IAI;
pengawasan yang lebih ketat kepada akuntan asing.
Pada tahun 1988 diterbitkan petunjuk
pelaksaan keputusan Menteri Keuangan melalui Keputusan Direktur Jenderal
Moneter No. Kep.2894/M/1988 tanggal 21 Maret 1988. Suatu hal yang
mendasar dari keputusan tersebut adalah pembinaan para akuntan publik
yang bertujuan:
1) Membantu perkembangan profesi akuntan publik di Indonesia
2) Memberikan masukan kepada IAI atau
seksi akuntan publik mengenai liputan yang dikehendaki Departemen
Keuangan dalam program pendidikan
3) Melaksanakan penataran bersama IAI
atau IAI-seksi akuntan publik mengenai hal-hal yang dianggap perlu
diketahui publik (KAP), termasuk mengenai manajemen KAP.
4) Mengusahakan agar staf KAP asing yang
diperbantukan di Indonesia untuk memberi penataran bagi KAP lainnya
melalui IAI atau IAI-Seksi Akuntan Publik dan membantu pelaksanaannya
5) Memantau laporan berkala kegiatan tahunan KAP
Sebelum diterbitkan Keputusan Direktur
Jenderal Moneter tersebut, pada tahun 1987 profesi akuntan publik telah
mendapatkan tempat terhormat dan strategis dari pemerintah yaitu dengan
dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
859/KMK.01/1987 tentang Emisi Efek melalui Bursa yang telah menentukan
bahwa:
1) Untuk melakukan emisi efek, emiten
harus memenuhi persyaratan, antara lain: mempunyai laporan keuangan yang
telah diperiksa oleh akuntan public / akuntan negara untuk dua tahun
buku terakhir secara berturut-turut dengan pernyataan pendapat “wajar
tanpa syarat” untuk tahun terakhir.
2) Laporan keuangan emiten untuk dua
tahun terakhir tersebut harus disusun sesuai dengan PABU di Indonesia
disertai dengan laporan akuntan publik/ akuntan negara.
3) Jangka waktu antara laporan keuangan
dan tanggal pemberian izin emisi efek tidak boleh melebihi 180 hari. (M.
Sutojo, 1989: 10)
f. Periode VI tahun 1990 – sekarang
Dalam periode ini profesi akuntan publik
terus berkembang seiring dengan berkembangnya dunia usaha dan pasar
modal di Indonesia. Walaupun demikian, masih banyak kritikan-kritikan
yang dilontarkan oleh para usahawan dan akademisi.
Namun, keberadaan profesi akuntan tetap
diakui oleh pemerintah sebagai sebuah profesi kepercayaan masyarakat. Di
samping adanya dukungan dari pemerintah, perkembangan profesi akuntan
publik juga sangat ditentukan ditentukan oleh perkembangan ekonomi dan
kesadaran masyarakat akan manfaat jasa akuntan publik. Beberapa faktor
yang dinilai banyak mendorong berkembangnya profesi adalah:
1) Tumbuhnya pasar modal
2) Pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun non-bank.
3) Adanya kerjasama IAI dengan Dirjen
Pajak dalam rangka menegaskan peran akuntan publik dalam pelaksanaan
peraturan perpajakan di Indonesia
4) Berkembangnya penanaman modal asing dan globalisasi kegiatan perekonomian
Pada awal 1992 profesi akuntan publik
kembali diberi kepercayaan oleh pemerintah (Dirjen Pajak) untuk
melakukan verifikasi pembayaran PPN dan PPn BM yang dilakukan oleh
pengusaha kena pajak. Sejalan dengan perkembangan dunia usaha tersebut,
Olson pada tahun 1979 di dalam Journal Accountanty mengemukakan empat
perkembangan yang harus diperhatikan oleh profesi akuntan yaitu:
1) Makin banyaknya jenis dan jumlah informasi yang tersedia bagi masyarakat
2) Makin baiknya transportasi dan komunikasi
3) Makin disadarinya kebutuhan akan kualitas hidup yang lebih baik
4) Tumbuhnya perusahaan-perusahaan multinasional sebagai akibat dari fenomena pertama dan kedua.
Konsekuensi perkembangan tersebut akan mempunyai dampak terhadap perkembangan akuntansi dan menimbulkan:
1) Kebutuhan akan upaya memperluas
peranan akuntan, ruang lingkup pekerjaan akuntan publik semakin luas
sehingga tidak hanya meliputi pemeriksaan akuntan dan penyusunan laporan
keuangan.
2) Kebutuhan akan tenaga spesialisasi
dalam profesi, makin besarnya tanggung jawab dan ruang lingkup kegiatan
klien, mengharuskan akuntan publik untuk selalu menambah pengetahuan.
3) Kebutuhan akan standar teknis yang
makin tinggi dan rumit, dengan berkembangnya teknologi informasi,
laporan keuangan akan menjadi makin beragam dan rumit.
Pendapat yang dikemukakan Olson tersebut
di atas cukup sesuai dan relevan dengan fungsi akuntan yang pada
dasarnya berhubungan dengan sistem informasi akuntansi. Dari pemaparan
yang telah dikemukakan, profesi akuntan diharapkan dapat mengantisipasi
keadaan untuk pengembangan profesi akuntan di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar